Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Perbankan Periode
1983 - 1997
Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU) No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No.
14/1967 tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi
perubahan fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia
(BI) dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan
pemerintah. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah
upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik
karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang
dana pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi
untuk mendorong peranan swasta agar lebih besar.
Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan
hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi
perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat,
dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut. Pada 1983, tahap awal
deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas
menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan
pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk
jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.
Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank.
Banyak bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam
menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat
sistem pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan
blacklist yang diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan
Tercela (DOT) di bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi berkecimpung dalam dunia perbankan.
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam
deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai
kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian izin usaha
bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta. Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efeksamping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan
kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan
bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah
pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan.
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang
berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada
1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu,
terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU
Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian
pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan
tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan
pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman
pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada
Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu
meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan
berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan
suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum
Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung,
Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang
Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam
melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991
yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang
melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb
1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy
dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi
investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit
perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat
memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan
dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti,
meski BI telah berusaha membatasi. Keadan ekonomi mulai memanas dan inflasi
meningkat.
Setelah berjalan lama, Pakto 88 mulai menampakkan dampak negatifnya.
Kebebasan perbankan terutama dalam bank devisa, yang menghambat terciptanya
sistem perbankan yang sehat. BI, sejak 1995, mulai memperberat syarat ketentuan
untuk menjadi bank devisa, meski langkah tersebut belum bisa menahan laju
pertumbuhan perbankan. Pada 1996, sebagai upaya untuk menekan ekspansi kredit
perbankan yang dianggap sebagai pemicu memanasnya mesin perekonomian,
diterapkan kembali kebijakan moral suasion dengan cara menghimbau bank untuk
menekan laju ekspansi kreditnya. Mulai 1997, walaupun ekpansi kredit perbankan
mulai dapat ditahan, namun perkembangan usaha perbankan menjadi lebih sulit
dikendalikan. Untuk itu, BI telah berencana untuk melikuidasi tujuh bank yang
ternyata belum mendapat restu dari pemerintah.
Sumber :http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D1FC7FE4-7400-4A35-B021-A4596387C20A/827/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf
Kesimpulan :
Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut. Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar